Kamis, 13 November 2008

Waspadai Demam Berdarah di Musim Hujan

Foto: Corbis
WALAU gaungnya terkalahkan oleh penyakit-penyakit baru yang bermunculan, demam berdarah tetap harus diwaspadai. Terutama di musim penghujan seperti saat ini.

Dulu, demam berdarah identik dengan musim penghujan. Seiring perubahan lingkungan dan siklus atau daur hidup nyamuk itu sendiri, penyakit mematikan ini dapat menyerang setiap saat tanpa mengenal musim. Namun, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan di musim penghujan karena banyak terdapat genangan air yang bisa menjadi sarang si nyamuk belang aedes aegypti sebagai biang penyebar demam berdarah dengue (DBD).

Hidup bersih dengan tidak membiarkan satu pun jentik nyamuk di rumah dan lingkungan sekitar merupakan upaya pencegahan terbaik. Kolumnis kesehatan, dr Handrawan Nadesul mengungkapkan, pada dasarnya kasus DBD dapat ditanggulangi asalkan tidak terlambat mendapat pertolongan medis. "Hanya sebagian kecil kasus DBD yang tergolong parah atau dengue shock syndrome," ujarnya.

Agar tidak terlambat, masyarakat perlu diajari mengenali DBD dan gejalanya lebih dini, seperti demam, kebocoran pembuluh darah, perdarahan, dan pembesaran hati. Demikian halnya dengan penatalaksanaan yang tepat, sehingga orangtua (terutama para ibu) tidak panik jika anaknya terkena demam.

Gejala demam bisa terjadi secara mendadak dan berlangsung selama 2-7 hari. Demam pada penderita DBD sering disebut demam pelana kuda. Pasalnya, suhu tubuh penderita cenderung turun-naik (3 hari panas, hari ke-4 turun, dan naik lagi pada hari ke-5).

"Perubahan suhu ini sering kali mengecoh para ibu. Saat suhu tubuh anak yang tadinya tinggi lalu menurun, si ibu mengira anaknya sudah sembuh. Padahal bisa jadi anak mengalami syok," kata dokter spesialis anak dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM, dr Hindra Irawan Satari SpA(K) M Trop Med.

Fase infeksi dengue terbagi tiga, yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Pada fase demam, ibu bisa melakukan beberapa terapi demam seperti pemberian obat penurun panas, kompres hangat dan terapi suportif melalui pemberian oralit, larutan gula-garam, jus buah, dan susu.

"Pastikan anak mendapat asupan cairan dengan cara minum. Jika anak bisa buang air kecil setiap 4-6 jam, itu bisa jadi indikator bahwa cairannya sudah cukup. Selain itu, ukur suhu tubuhnya setiap 4-6 jam," ungkapnya.

Dari ketiga fase tersebut, yang paling krusial adalah penanganan pada fase kritis. Fase ini biasanya terjadi pada hari ke-4 dan ke-5 perjalanan penyakit dan berlangsung 24-48 jam. Obat antidemam umumnya tidak lagi diberikan pada fase ini. Tata laksana yang umum dilakukan adalah dengan mencatat tanda vital serta asupan dan keluaran cairan; memberikan oksigen pada kasus yang disertai syok; menghentikan perdarahan (kecuali kalau hanya mimisan tidak masalah); serta menghindari tindakan yang tidak perlu (misalkan pemberian obat atau zat-zat yang bisa menimbulkan traumatik).

"Pada fase kritis umumnya penderita tidak bisa makan dan minum karena tidak nafsu makan atau muntah-muntah. Jadi harus benar-benar dirawat," tutur Hindra. Dia menambahkan, jika penderita tidak dapat makan dan minum melalui mulut (apalagi terjadi syok), maka dokter biasanya akan mengindikasikan pemberian cairan infus.

Menjaga tubuh dari dehidrasi juga penting dilakukan agar demam tidak berkembang menjadi syok. Adapun pertanda dehidrasi berupa kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang air kecil dan kelenturan kulit menurun (bila kulit dinding perut dicubit tidak bisa membal kembali). Sedangkan tandatanda kalau sudah terancam syok di antaranya nadi cepat namun melemah, berkeringat, dan kulit dingin.

Hal lain yang tidak kalah penting dalam penanganan DBD adalah pemeriksaan darah di laboratorium medis. Ini penting untuk mengetahui terjadinya kebocoran plasma darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner